Emak
lahir di kota kecil, di Kalimantan. Terlahir dengan sambutan yang biasa saja,
karena sebelumnya telah ada enam saudara yang telah lahir sebelum emak. Setelah
emak lahirpun, masih ada enam saudara lain lagi yang lahir. Jadi total saudara
kandung emak, ada 13 orang. Tapi karena situasi dan kondisi, zaman itu masih
tinggi tingkat kematian anak. Delapan saudara kandung emak, meninggal semasa
masih balita. Sampai sekarang, hanya empat saudara kandung emak yang masih hidup.
Ketika
memasuki usia sekolah, emak dititipkan untuk menumpang sekolah di rumah bibinya
di kota. Jadi sejak umur 7 tahun, emak sudah tidak tinggal bersama orang
tuanya. Sebagai anak asuh (keponakan yang menumpang hidup), emak harus bisa
membantu segala pekerjaan rumah tangga agar tetap disayang bibinya dan tetap
diizinkan untuk menumpang di rumahnya.
Masih
teringat dibenakku, emak pernah mengungkapkan tentang masa itu.
“Bangun
harus sebelum azan subuh, menyalakan tungku, memasak air, dan memasak nasi,”
ujar emak.
Tak
bisa kubayangkan betapa sabarnya emak. Sekecil itu harus meniup kayu-kayu bakar
di tungku, membuatnya tetap menyala agar air mendidih dan nasi bisa masak.
Ternyata
bukan hanya itu, mulutku bahkan pernah ngowoh
(membuka lebar) ketika emak menceritakan bagian lain dari aktivitas paginya.
“Setiap
berangkat ke sekolah, harus membawa nampan besar di kepala, isinya kue-kue
buatan bibi yang akan dijual di sekolah,” tutur Emak dengan tersenyum.
Bagiku,
dua hal itu saja sudah membuatku begitu kagum pada emak. Karena jika hal itu
terjadi padaku, kutahu belum tentu aku akan sanggup menjalaninya.
Sejalan
waktu, emak kecil tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan pintar. Emak
diterima di fakultas hukum, di satu-satunya universitas negeri di propinsinya
saat itu. Hanya kata salut berulang-ulang kuungkapkan ke emak. Di tahun itu,
tahun 1969, masih langka orang bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan
tinggi. Tapi, emak telah membuktikan. Keterbatasan ekonomi bukan menjadi
halangan.
“Kok bisa, Mak?” tanyaku.
“Niat
harus kuat, harus gigih, dan tidak boleh putus asa untuk meraih cita-cita,” ujar
Emak penuh semangat.
Tahun
1975, emak dipersunting bapak. Emak akhirnya meninggalkan rumah bibinya.
Setelah menikah, emak sempat bekerja di bea cukai, pintu masuk pelabuhan laut
di kotanya. Emak memilih berhenti bekerja karena mengandung anak pertamanya.
“Iya,
Emak berhenti bekerja karena ada kamu lagi bobok
di rahim Emak,” ungkap Emak sembari memegang pundakku.
“Terima
kasih, Mak.” ujarku pelan sambil menahan runtuhan air mata.
Sejak
saat itu, emak meluangkan seluruh waktunya untuk anak dan suaminya tercinta.
Keluarga
bapak memiliki latar belakang ekonomi yang bertolak belakang dari emak. Bapak
merupakan anak lelaki tunggal di keluarganya. Sejak kecil bapak sudah memiliki
pengasuh ( babysitter). Bahkan sampai
di bangku kuliah pun, bapak masih diantar dan dijemput pembantu ayahnya. Ayah
bapak (almarhum kakekku) adalah seorang bos minyak (sebutan bagi pemilik
pangkalan minyak di tepi sungai, mungkin sekarang seperti SPBU).
Sejak
menikah, kehidupan bahagia mulai dirasakan emak. Kemudian bertambah setelah
melahirkan aku, anak pertamanya. Semakin lengkap dengan kehadiran adik-adikku
secara bergantian, sehingga adik bungsuku, anak
kelima emak.
”Kenapa
Bapak tertarik sama Emak?” tanyaku suatu kali.
Kata
Emak, “Bapak sejak pertama melihat Emak, langsung jatuh cinta dan serius ingin
menikahi Emak”. Wah kayaknya ini yang
dibilang ada chemistry.
Sejak
menikah dengan bapak, emak bagai Cinderella.
Emak tidak lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mencuci, masak, dan setrika
sudah dilakukan oleh pembantu. Emak hanya menyusui dan merawat anak-anak saja.
“Bapakmu
sangat sayang kepada Emak. Makanya, Emak tidak diperkenankan repot dengan urusan rumah tangga,”
tambah emak lagi.
Aku
selalu ingat betapa kompaknya emak dan bapak mengasuh, membimbing dan
menyayangi kami. Meskipun, di rumah kami saat itu, juga ada beberapa keponakan
bapak yang sudah kehilangan orangtuanya (yatim). Mereka juga diperlakukan sama
layaknya anak kandung seperti kami. Kasih sayang emak juga tak berbeda bagi
kami semua, bahkan sampai akhirnya mereka (para kakak sepupuku itu) menikah dan
diboyong ke rumah suaminya masing-masing.
Masih
teringat lekat di pikiranku, betapa emak dan bapak menyayangi kami dengan gaya
mereka yang special. Emak tak pernah
menyuruh anak-anaknya melakukan pekerjaan rumah tangga, mungkin emak ingin kami
full bahagia di masa kecil kami.
Bapak pun begitu, sampai SMA, aku masih diantar dan dijemput bapak, jika pergi
dan pulang sekolah. Masa-masa indah yang tak bisa terulang kembali. Kebahagiaan
keluarga yang ingin kami rasakan untuk selamanya.
Kita
berencana, Tuhanlah yang menentukan. Saat usiaku 17 tahun, bagai disambar petir
di siang bolong, bapak kandungku meninggal dunia secara mendadak. Kesedihan
jelas mewarnai kehidupan kami saat itu. Aku dan keempat adikku, masih sekolah
di SMA, SMP dan SD. Kami menjadi yatim, di usia yang masih belia.
“Titip
anak-anak,” begitu pesan terakhir bapak kepada emak.
Tentu
saja kehilangan Bapak, bagai kehilangan pegangan hidup bagi kami. Bapak adalah
panutan, pelindung, dan pencari rezeki bagi keluarga kami.
Kembali
emak menunjukkan “keperkasaan” dirinya. Emak kembali hidup sedia kala. Emak tak
lagi hidup bagai Cinderella. Dan
Memang, Emak bukan Cinderella.
“Masih
ada Allah yang akan menjaga kita,” demikian yang selalu emak sampaikan kepada
kami, jika melihat kami menangis mengenang almarhum bapak.
Aku
ingat saat itu, aku kelas 3 SMA, sedang menghadapi ujian EBTANAS.
“Jangan
pikirkan macam-macam, belajarlah dengan tenang dan raihlah prestasi yang baik.
Insya Allah, Bapak di surga akan bahagia melihat keberhasilanmu,” Kata Emak
menyemangatiku.
Alhamdulillah,
aku lulus dengan nilai terbaik di sekolahku. Aku bisa melanjutkan di perguruan
tinggi negeri di kotaku. Demikian juga tahun-tahun berikutnya, adik-adikku juga
berhasil memasuki perguruan tinggi negeri dan kami mendapat beasiswa selama
masa kuliah.
Emak
sangat gigih berjuang untuk kelangsungan hidup kami. Emak mengais rezeki dengan
membuka warung kecil di depan rumah dan menerima pesanan kue dari
teman-temannya. Tengah malam Emak lalui dengan bermunajat kepada-Nya. Emak
memberikan contoh pada kami, anak-anaknya. Tanpa diminta pun, kami meniru untuk
bangun malam, mengadu pada-Nya. Ya, hanya kepada-Nya kami bisa berharap.
Sebelum
subuh, emak sudah sibuk di dapur, menyiapkan dagangannya. Aku dan adik-adikku,
kadang membantu mengoreng atau memotong bahan yang akan dimasak emak. Kami
lakukan dengan kesadaran sendiri. Emak tak pernah meminta kami untuk
melakukannya. Begitupun, dengan
pekerjaaan rumah tangga lain. Menyapu, mencuci, dan setrika, kami lakukan
sendiri. Kehilangan bapak membuat kami menjadi pribadi yang mandiri.
Sebenarnya,
almarhum bapak ada mewariskan beberapa buah rumah dan beberapa bidang tanah.
Tapi emak tidak pernah berniat untuk menjualnya. Sehingga akhirnya, ketika adik
perempuan bungsuku diterima di perguruan tinggi negeri ternama di Jakarta. Emak
perlu uang banyak untuk membiayai adikku itu.
Dengan
berat hati, emak menjual sebuah rumah warisan di tengah kota. Secara logika,
pasti banyak uang yang emak terima. Karena harga tanah dan rumah di tengah kota
sudah mahal waktu itu. Tapi apa yang terjadi? Emak dibohongi atau dicurangi
oleh saudaranya sendiri, yang menjadi makelar untuk penjualan rumah itu. Apakah
emak marah? Tidak, emak tidak marah. Raut wajah emak tetap tenang, begitu
sabarnya emak. Bahkan emak masih bisa tersenyum ikhlas di depan saudaranya itu.
Emak
menganggap mungkin belum rezeki bagi kami. Saat itu, emak hanya berkata lirih,
“Biarkan saja dia begitu, tidak akan barakah jika dia makan harta anak yatim”.
Ternyata kata-kata emak terbukti. Orang yang telah menzalimi emak, hidupnya
susah. Sehingga sekarang, orang tersebut memang hidupnya jauh dari keberkahan.
Walau sudah memasuki usia pensiun, dia belum mempunyai rumah pribadi untuk
naungan keluarganya. Bahkan dia memiliki hutang yang banyak, akibat gaya hidup
yang berlebihan. Nauzubillahi minzalik.
Jangan sampai kita menzalimi orang lain, karena terbukti doa orang yang dizholimi
itu, sangat makbul.
Tahun
keenam meninggalnya bapak, aku dan adikku di wisuda. Tak sampai dua minggu,
kami sudah mendapat pekerjaan. Emak berkata bahagia, “ Alhamdulillah, Bapak
pasti bahagia melihat anak-anaknya berhasil.”
Menyusul
setahun kemudian, adik perempuan bungsuku diwisuda di Jakarta. Emak mendampingi
dengan menangis terharu dan bahagia. Pada tahun yang sama, adik lelakiku,
diterima bekerja di perusahaan minyak milik Perancis, di kota Balikpapan. Air
mata emak mengalir deras melepas kepergian adik lelakiku. Iya, karena dia sudah
seperti pengganti sosok bapak di rumah kami.
“Jangan
lupa sholat lima waktu. Semoga Allah Yang Maha Rahim, melindungi dan menjagamu
dari segala mara bahaya,” pesan dan doa yang selalu sama emak panjatkan setiap melepas
kepergian anak-anaknya.
Menjelang
delapan tahun meninggalnya bapak, aku dilamar dan akan menikah. Banyak saudara
yang menentang rencana pernikahanku. Mereka beranggapan aku terlalu muda, masih
berkesempatan untuk berkarier dan belumlah banyak membahagiakan emak. Tapi emak
malah mendukungku, “Menikahlah, jika itu memang jodohmu. Emak akan tambah
bahagia jika segera dapat cucu,” canda emak kepadaku.
Di
usiaku ke-25, aku menikah tanpa pacaran. Proses pernikahan yang di anggap aneh
oleh keluarga besarku. Emak mendapat omongan-omongan tidak sedap dari
saudara-saudaranya. Tapi, Emak tetap sabar menanggapinya. Anak-anak Emak laris manis bagai gorengan. Beberapa bulan kemudian, satu
persatu adikku dilamar. Menikah sebelum usia 25 tahun. Bahkan adik lelakiku,
menikah di usia 22 tahun.
Perjuangan,
kesabaran, dan pengorbanan yang telah Emak lakukan, tidak pernah sia-sia. Bukan
hanya anak kandungnya yang banyak mendapat curahan kasih sayang dan menikmati
rezeki dari tetes keringat Emak. Bahkan beberapa anak kos yang sempat tinggal
di rumah kami dan berasal dari beberapa daerah, sampai saat ini masih mengenang
kebaikan dan kasih sayang Emak. Mereka sering mengirim salam rindu untuk Emak.
Kami,
anak-anak kandungnya, sangat ingin membahagiakan emak. Tepat 60 tahun usia
Emak, 7 Desember 2010, kami ‘mengirim’ Emak untuk bertamu ke rumah Allah.
“Subhanallah,
Alhamdulillah, terima kasih ya, Nak. Sudah
mewujudkan impian Emak untuk ke sini. Semoga Allah menambah rezeki bagi kalian
dari segala arah,” suara lirih emak saat itu, ketika aku meneleponnya di
Mekkah.
Kini
Emak sedang berbahagia menikmati sisa hidupnya. Hari-hari dijalani dengan
dikelilingi anak-anak, menantu-menantu, dan cucu-cucu yang menyayanginya. Emak
sekarang bagai superstar, yang selalu ditunggu kedatangannya. Emak
memiliki jadwal tetap, keliling Indonesia,
untuk mengunjungi cucu-cucunya. Kadang ke Balikpapan, ke Surabaya, ke
Pontianak, ke Sekadau, ke Bengkayang, dan sempat berkunjung selama sebulan di
rumah kami, di Malaysia. Semoga Emak dilimpahkan kesehatan dan umur yang penuh
berkah sehingga bisa menikmati kebahagiaan di sisa umurnya. Aamiin.