Sabtu, Desember 21, 2013

Emak Bukan Cinderella






Emak lahir di kota kecil, di Kalimantan. Terlahir dengan sambutan yang biasa saja, karena sebelumnya telah ada enam saudara yang telah lahir sebelum emak. Setelah emak lahirpun, masih ada enam saudara lain lagi yang lahir. Jadi total saudara kandung emak, ada 13 orang. Tapi karena situasi dan kondisi, zaman itu masih tinggi tingkat kematian anak. Delapan saudara kandung emak, meninggal semasa masih balita. Sampai sekarang, hanya empat saudara kandung emak yang masih hidup.
Ketika memasuki usia sekolah, emak dititipkan untuk menumpang sekolah di rumah bibinya di kota. Jadi sejak umur 7 tahun, emak sudah tidak tinggal bersama orang tuanya. Sebagai anak asuh (keponakan yang menumpang hidup), emak harus bisa membantu segala pekerjaan rumah tangga agar tetap disayang bibinya dan tetap diizinkan untuk menumpang di rumahnya.
Masih teringat dibenakku, emak pernah mengungkapkan tentang masa itu.
“Bangun harus sebelum azan subuh, menyalakan tungku, memasak air, dan memasak nasi,” ujar emak.
Tak bisa kubayangkan betapa sabarnya emak. Sekecil itu harus meniup kayu-kayu bakar di tungku, membuatnya tetap menyala agar air mendidih dan nasi bisa masak.
Ternyata bukan hanya itu, mulutku bahkan pernah ngowoh (membuka lebar) ketika emak menceritakan bagian lain dari aktivitas paginya.
“Setiap berangkat ke sekolah, harus membawa nampan besar di kepala, isinya kue-kue buatan bibi yang akan dijual di sekolah,” tutur Emak dengan tersenyum.
Bagiku, dua hal itu saja sudah membuatku begitu kagum pada emak. Karena jika hal itu terjadi padaku, kutahu belum tentu aku akan sanggup menjalaninya.
Sejalan waktu, emak kecil tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan pintar. Emak diterima di fakultas hukum, di satu-satunya universitas negeri di propinsinya saat itu. Hanya kata salut berulang-ulang kuungkapkan ke emak. Di tahun itu, tahun 1969, masih langka orang bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Tapi, emak telah membuktikan. Keterbatasan ekonomi bukan menjadi halangan.
Kok bisa, Mak?” tanyaku.
“Niat harus kuat, harus gigih, dan tidak boleh putus asa untuk meraih cita-cita,” ujar Emak penuh semangat.
Tahun 1975, emak dipersunting bapak. Emak akhirnya meninggalkan rumah bibinya. Setelah menikah, emak sempat bekerja di bea cukai, pintu masuk pelabuhan laut di kotanya. Emak memilih berhenti bekerja karena mengandung anak pertamanya.
“Iya, Emak berhenti bekerja karena ada kamu lagi bobok di rahim Emak,” ungkap Emak sembari memegang pundakku.
“Terima kasih, Mak.” ujarku pelan sambil menahan runtuhan air mata.
Sejak saat itu, emak meluangkan seluruh waktunya untuk anak dan suaminya tercinta.
Keluarga bapak memiliki latar belakang ekonomi yang bertolak belakang dari emak. Bapak merupakan anak lelaki tunggal di keluarganya. Sejak kecil bapak sudah memiliki pengasuh ( babysitter). Bahkan sampai di bangku kuliah pun, bapak masih diantar dan dijemput pembantu ayahnya. Ayah bapak (almarhum kakekku) adalah seorang bos minyak (sebutan bagi pemilik pangkalan minyak di tepi sungai, mungkin sekarang seperti SPBU).
Sejak menikah, kehidupan bahagia mulai dirasakan emak. Kemudian bertambah setelah melahirkan aku, anak pertamanya. Semakin lengkap dengan kehadiran adik-adikku secara bergantian, sehingga adik bungsuku, anak  kelima emak. 
”Kenapa Bapak tertarik sama Emak?” tanyaku suatu kali.
Kata Emak, “Bapak sejak pertama melihat Emak, langsung jatuh cinta dan serius ingin menikahi Emak”. Wah kayaknya ini yang dibilang ada chemistry.
Sejak menikah dengan bapak, emak bagai Cinderella. Emak tidak lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mencuci, masak, dan setrika sudah dilakukan oleh pembantu. Emak hanya menyusui dan merawat anak-anak saja.
“Bapakmu sangat sayang kepada Emak. Makanya, Emak tidak diperkenankan repot dengan urusan rumah tangga,” tambah emak lagi.
Aku selalu ingat betapa kompaknya emak dan bapak mengasuh, membimbing dan menyayangi kami. Meskipun, di rumah kami saat itu, juga ada beberapa keponakan bapak yang sudah kehilangan orangtuanya (yatim). Mereka juga diperlakukan sama layaknya anak kandung seperti kami. Kasih sayang emak juga tak berbeda bagi kami semua, bahkan sampai akhirnya mereka (para kakak sepupuku itu) menikah dan diboyong ke rumah suaminya masing-masing.
Masih teringat lekat di pikiranku, betapa emak dan bapak menyayangi kami dengan gaya mereka yang special. Emak tak pernah menyuruh anak-anaknya melakukan pekerjaan rumah tangga, mungkin emak ingin kami full bahagia di masa kecil kami. Bapak pun begitu, sampai SMA, aku masih diantar dan dijemput bapak, jika pergi dan pulang sekolah. Masa-masa indah yang tak bisa terulang kembali. Kebahagiaan keluarga yang ingin kami rasakan untuk selamanya.
Kita berencana, Tuhanlah yang menentukan. Saat usiaku 17 tahun, bagai disambar petir di siang bolong, bapak kandungku meninggal dunia secara mendadak. Kesedihan jelas mewarnai kehidupan kami saat itu. Aku dan keempat adikku, masih sekolah di SMA, SMP dan SD. Kami menjadi yatim, di usia yang masih belia.
“Titip anak-anak,” begitu pesan terakhir bapak kepada emak.
Tentu saja kehilangan Bapak, bagai kehilangan pegangan hidup bagi kami. Bapak adalah panutan, pelindung, dan pencari rezeki bagi keluarga kami.
Kembali emak menunjukkan “keperkasaan” dirinya. Emak kembali hidup sedia kala. Emak tak lagi hidup bagai Cinderella. Dan Memang, Emak bukan Cinderella.
“Masih ada Allah yang akan menjaga kita,” demikian yang selalu emak sampaikan kepada kami, jika melihat kami menangis mengenang almarhum bapak.
Aku ingat saat itu, aku kelas 3 SMA, sedang menghadapi ujian EBTANAS.
“Jangan pikirkan macam-macam, belajarlah dengan tenang dan raihlah prestasi yang baik. Insya Allah, Bapak di surga akan bahagia melihat keberhasilanmu,” Kata Emak menyemangatiku.
Alhamdulillah, aku lulus dengan nilai terbaik di sekolahku. Aku bisa melanjutkan di perguruan tinggi negeri di kotaku. Demikian juga tahun-tahun berikutnya, adik-adikku juga berhasil memasuki perguruan tinggi negeri dan kami mendapat beasiswa selama masa kuliah.
Emak sangat gigih berjuang untuk kelangsungan hidup kami. Emak mengais rezeki dengan membuka warung kecil di depan rumah dan menerima pesanan kue dari teman-temannya. Tengah malam Emak lalui dengan bermunajat kepada-Nya. Emak memberikan contoh pada kami, anak-anaknya. Tanpa diminta pun, kami meniru untuk bangun malam, mengadu pada-Nya. Ya, hanya kepada-Nya kami bisa berharap.
Sebelum subuh, emak sudah sibuk di dapur, menyiapkan dagangannya. Aku dan adik-adikku, kadang membantu mengoreng atau memotong bahan yang akan dimasak emak. Kami lakukan dengan kesadaran sendiri. Emak tak pernah meminta kami untuk melakukannya. Begitupun,  dengan pekerjaaan rumah tangga lain. Menyapu, mencuci, dan setrika, kami lakukan sendiri. Kehilangan bapak membuat kami menjadi pribadi yang mandiri.
Sebenarnya, almarhum bapak ada mewariskan beberapa buah rumah dan beberapa bidang tanah. Tapi emak tidak pernah berniat untuk menjualnya. Sehingga akhirnya, ketika adik perempuan bungsuku diterima di perguruan tinggi negeri ternama di Jakarta. Emak perlu uang banyak untuk membiayai adikku itu.
Dengan berat hati, emak menjual sebuah rumah warisan di tengah kota. Secara logika, pasti banyak uang yang emak terima. Karena harga tanah dan rumah di tengah kota sudah mahal waktu itu. Tapi apa yang terjadi? Emak dibohongi atau dicurangi oleh saudaranya sendiri, yang menjadi makelar untuk penjualan rumah itu. Apakah emak marah? Tidak, emak tidak marah. Raut wajah emak tetap tenang, begitu sabarnya emak. Bahkan emak masih bisa tersenyum ikhlas di depan saudaranya itu.
Emak menganggap mungkin belum rezeki bagi kami. Saat itu, emak hanya berkata lirih, “Biarkan saja dia begitu, tidak akan barakah jika dia makan harta anak yatim”. Ternyata kata-kata emak terbukti. Orang yang telah menzalimi emak, hidupnya susah. Sehingga sekarang, orang tersebut memang hidupnya jauh dari keberkahan. Walau sudah memasuki usia pensiun, dia belum mempunyai rumah pribadi untuk naungan keluarganya. Bahkan dia memiliki hutang yang banyak, akibat gaya hidup yang berlebihan. Nauzubillahi minzalik. Jangan sampai kita menzalimi orang lain, karena terbukti doa orang yang dizholimi itu, sangat makbul. 
Tahun keenam meninggalnya bapak, aku dan adikku di wisuda. Tak sampai dua minggu, kami sudah mendapat pekerjaan. Emak berkata bahagia, “ Alhamdulillah, Bapak pasti bahagia melihat anak-anaknya berhasil.”
Menyusul setahun kemudian, adik perempuan bungsuku diwisuda di Jakarta. Emak mendampingi dengan menangis terharu dan bahagia. Pada tahun yang sama, adik lelakiku, diterima bekerja di perusahaan minyak milik Perancis, di kota Balikpapan. Air mata emak mengalir deras melepas kepergian adik lelakiku. Iya, karena dia sudah seperti pengganti sosok bapak di rumah kami.
“Jangan lupa sholat lima waktu. Semoga Allah Yang Maha Rahim, melindungi dan menjagamu dari segala mara bahaya,” pesan dan doa yang selalu sama emak panjatkan setiap melepas kepergian anak-anaknya.
Menjelang delapan tahun meninggalnya bapak, aku dilamar dan akan menikah. Banyak saudara yang menentang rencana pernikahanku. Mereka beranggapan aku terlalu muda, masih berkesempatan untuk berkarier dan belumlah banyak membahagiakan emak. Tapi emak malah mendukungku, “Menikahlah, jika itu memang jodohmu. Emak akan tambah bahagia jika segera dapat cucu,” canda emak kepadaku.
Di usiaku ke-25, aku menikah tanpa pacaran. Proses pernikahan yang di anggap aneh oleh keluarga besarku. Emak mendapat omongan-omongan tidak sedap dari saudara-saudaranya. Tapi, Emak tetap sabar menanggapinya. Anak-anak Emak laris manis bagai gorengan. Beberapa bulan kemudian, satu persatu adikku dilamar. Menikah sebelum usia 25 tahun. Bahkan adik lelakiku, menikah di usia 22 tahun.
Perjuangan, kesabaran, dan pengorbanan yang telah Emak lakukan, tidak pernah sia-sia. Bukan hanya anak kandungnya yang banyak mendapat curahan kasih sayang dan menikmati rezeki dari tetes keringat Emak. Bahkan beberapa anak kos yang sempat tinggal di rumah kami dan berasal dari beberapa daerah, sampai saat ini masih mengenang kebaikan dan kasih sayang Emak. Mereka sering mengirim salam rindu untuk Emak.
Kami, anak-anak kandungnya, sangat ingin membahagiakan emak. Tepat 60 tahun usia Emak, 7 Desember 2010, kami ‘mengirim’ Emak untuk bertamu ke rumah Allah.
“Subhanallah, Alhamdulillah, terima kasih ya, Nak. Sudah mewujudkan impian Emak untuk ke sini. Semoga Allah menambah rezeki bagi kalian dari segala arah,” suara lirih emak saat itu, ketika aku meneleponnya di Mekkah.
Kini Emak sedang berbahagia menikmati sisa hidupnya. Hari-hari dijalani dengan dikelilingi anak-anak, menantu-menantu, dan cucu-cucu yang menyayanginya. Emak sekarang bagai superstar,  yang selalu ditunggu kedatangannya. Emak memiliki jadwal tetap, keliling Indonesia,  untuk mengunjungi cucu-cucunya. Kadang ke Balikpapan, ke Surabaya, ke Pontianak, ke Sekadau, ke Bengkayang, dan sempat berkunjung selama sebulan di rumah kami, di Malaysia. Semoga Emak dilimpahkan kesehatan dan umur yang penuh berkah sehingga bisa menikmati kebahagiaan di sisa umurnya. Aamiin.