Sinar
surya hampir sirna. Hembusan angin dingin, menyejukkan kota pahlawan senja itu.
Beberapa saat menjelang bedug magrib, aku tertegun menatap meja makan. Ada
beberapa gelas es campur, sepiring kurma dan seloyang skutel makaroni. Sejenak,
aku menghela napas. Bukan karena makanan yang tersaji tidak menarik seleraku.
Tapi, karena ada satu makanan yang mengingatkanku pada belahan jiwaku. Skutel
makaroni, nama makanan itu.
Siapa
pun pasti tahu, skutel makaroni adalah makanan yang enak dan super lezat.
Apalagi dengan taburan keju yang banyak, tambah mantap rasanya. Tapi kali ini,
entah mengapa, memandangnya membuatku menjadi sedih. Iya, skutel makaroni adalah makanan kesukaan
suamiku. Skutel makaroni mengingatkan aku padanya. Suamiku yang sedang jauh di
negeri Belanda, telah berkali-kali kami tidak melaksanakan Ramadhan bersama.
“Allahu Akbar…Allahu Akbar” suara azan
terdengar dari mushalla dekat
rumahku. Aku, putriku dan kedua mertuaku, duduk mengintari meja makan. Aku
membaca doa berbuka. Segera kubatalkan puasa dengan secangkir air putih dan dua
biji kurma. Kulihat, putriku dengan lahapnya menghabiskan potongan skutel
makaroni di piringnya. Aku hendak beranjak meninggalkan meja makan. Tapi,
pertanyaan dari Ibu mertuaku, menghentikan langkahku. “Skutel makaroninya kok nggak
dimakan?” tanya Ibu mertuaku. Aku hanya tersenyum. Aku tak ingin mengecewakan Ibu
mertuaku. Aku tahu, beliau pasti akan kecewa jika aku tidak memakan skutel
makaroni buatannya. Sebelum meninggalkan meja makan, tangan kananku meraih
piring jatah skutel untukku. “Aku bawa ke kamar atas ya Mom,“ kataku
meminta persetujuan beliau. Beliau mengangguk tanda setuju. Aku berjalan
menjauhi meja makan. Kakiku menaiki tangga, menuju kamarku di lantai atas.
Skutel
makaroni kuletakkan di atas meja. Selesai berwudhu, aku menenggelamkan diri di
sajadah lembutku. Ketika selesai salam dan berdoa, mataku kembali menatap
sepiring skutel makaroni di atas meja kecil di dekatku. Aku tertegun sesaat,
pikiranku terkenang beberapa tahun yang lalu.
Musim
semi bertabur bunga sakura, tahun 2002 , aku membuat skutel makaroni untuk
pertama kalinya. Kala itu, aku baru saja menikah. Aku sedang mengikuti suamiku yang
menjalani studi master di negeri
matahari terbit. Jujur, semasa gadis,
aku belum pernah membuat skutel makaroni. Memakannya mungkin pernah, tapi
membuatnya? Belum pernah sama sekali. Setelah menikah, aku baru tahu, ternyata
suamiku paling suka makan skutel makaroni. Awalnya, tentu saja aku bingung.
Tapi, untunglah sebelum berangkat ke Jepang, Ibu mertuaku telah membekaliku
dengan catatan resep skutel makaroni.
Dan aku pun memberanikan diri untuk membuat skutel makaroni dengan
bermodal petunjuk dari resep itu.
Skutel
makaroni perdanaku, aku buat dengan bahan seadanya. Letak apartemen kami yang
jauh dari toko daging halal, membuatku terbiasa masak tanpa daging sapi atau
daging ayam. Aku lebih sering membeli seafood.
Begitupun, dengan skutel makaroni buatan pertamaku. Aku gunakan udang dan tuna
untuk campuran skutel makaroni itu.
Masih
kuingat, betapa skutel makaroni buatanku itu, sangat asin, keras dan hampir gosong. Tapi, hatiku menjadi
berbunga-bunga karena suamiku memuji skutel buatanku itu. “ Enak…enaaak” katanya berulang-ulang. Potong,
demi potong, skutel makaroni itu habis dilahapnya. Bahkan, tak secuil pun
tersisa di loyang. Saat itu, aku bahagia sekali. Walaupun, aku tahu skutel
makaroni buatanku tidaklah sempurna. Tapi, aku bahagia karena suamiku sangat
menghargai hasil masakanku itu.
“Tok…tok…tok “ suara pintu kamarku
diketuk. “Ma…Mama” terdengar suara
putriku memanggilku. Aku tersadar dari lamunanku. Segera aku buka pintu kamar
dan menghampiri putriku. “Ada apa Sayang?
tanyaku. “Ada telepon dari Papa,”
katanya sambil menarik tanganku untuk mengikutinya. Dengan mukena lengkap,
bergegas aku ke lantai bawah. Aku raih gagang telepon yang terletak di atas
meja.
“Assalamu’alaykum”kataku.
“Wa’alaykumsalam warahmatullah wabarakatuh” jawab suara di sana.
“Wa’alaykumsalam warahmatullah wabarakatuh” jawab suara di sana.
Aku
terdiam. Suara itu begitu aku rindukan. Suara belahan jiwaku, yang sedang
berada di negeri kincir angin. Telah sekian Ramadhan tidak kami lalui bersama.
Ini adalah Ramadhan ke tujuh, aku tidak bersamanya.
“Lho kok diam? Sakit Ma?“ tanya suamiku
di ujung sana.
“Alhamdulillah sehat…Papa gimana? Sehat?“ tanyaku.
“Alhamdulillah sehat…Papa gimana? Sehat?“ tanyaku.
“Alhamdulillah sehat. Sudah buka puasa ya di
Indonesia? Selamat buka puasa ya…Buka pake menu apa tadi? “kembali suamiku
melontarkan pertanyaan.
“Skutel makaroni” jawabku singkat.
“Skutel makaroni? Wah enak donk…kirim ke sini
donk, Ma!“ kata suamiku sambil bercanda.
“Nggak bisa ngirimnya…jauuuh! Beli saja di sana“ jawabku serius.
“Beli? Bisa saja sih…tapi kan nggak bakalan
sama dengan buatan mama” jawab suamiku.
“Lagian di belanda, kejunya lebih bervariasi dan lebih enak” kataku
meyakinkannya.
“Biarpun, kejunya enak, tapi skutel
makaroninya tidak bisa menyaingi buatan mama yang super uenak. Pokoknya skutel makaroni
buatan mama lebih enak.” tegas suamiku.
“Papa ada-ada saja…buatan mama biasa saja”
ujarku agak minder.
“Benar Ma, buatan mama yang paling papa suka.
Karena mama membuatnya dengan penuh cinta. Makanya skutel buatan mama paling
enak di lidah papa” jawab suamiku meyakinkanku.
Aku
terdiam, tanpa bisa berbicara. Aku menahan rontoknya butiran-butiran bening di
ujung mataku. Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi dengan percakapan di
telepon. Syukurlah, tak lama kemudian, suamiku mengakhiri teleponnya. Dengan
tangan gemetar, aku kembalikan gagang telepon ke tempatnya.
Langkahku
berat menaiki anak-anak tangga. Aku mengunci diri dalam kamarku. Sekilas mataku
menatap sehelai baju kaos batik dan sehelai sarung berwarna coklat, yang
tergantung di belakang pintu kamarku. Itu adalah pakaian terakhir yang dipakai
suamiku, saat mengunjungiku di liburan musim panas lalu. Aku raih baju dan
sarung itu. Masih tercium, aroma badan pemiliknya. Memang, sudah berbulan-bulan
baju dan sarung itu tidak aku cuci. Seperti biasa, akan selalu aku dekap, jika
merindukan belahan jiwaku itu. Sama seperti perasaanku saat ini, kupeluk dengan segenap rinduku. Air mataku mulai rontok satu persatu L.
Pikiranku
melayang ke negeri keju. Aku menangkap sesosok tubuh berbadan tegap. Dia duduk
tekun, sambil menahan kantuk di antara tumpukan buku-buku tebal dan paper-paper yang berserakan. Dia bergegas ke dapurnya yang
mungil, tempatnya memasak makanan untuk sahur dan berbuka. Aku seharusnya di
sana. Aku seharusnya yang menata mejanya agar tetap rapi dan nyaman di pandang
mata. Aku yang seharusnya di dapur itu, yang memasakkan skutel makaroni
kesukaannya.
Tapi,
apalah dayaku ini. Kini aku berada beribu-ribu kilometer jauh darinya. Aku yang
berada di belahan bumi yang berbeda darinya. Aku yang tak bisa menjalankan ibadah
Ramadhan bersamanya. Aku yang tak bisa menemani hari-harinya. Maafkan aku,
suamiku.
“Allahu Akbar…Allahu Akbar” kembali suara
azan berkumandang dari mushalla dekat
rumahku. Tanda waktu Isya telah tiba. Segeraku berwudhu kembali, bersiap
menghadap Illahi.
Setelah
selesai sholat, dalam dzikir panjangku, aku memohon doa tulus pada-Nya :
” Rabbi, Engkau Yang Maha Pengasih,
Kasihanilah hambamu yang lemah ini,
Hapuskanlah duka hatiku,
Gantilah air mata ini dengan kebahagiaan
abadi-Mu.
Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa,
Lindungilah suamiku di sana,
Sayangilah dia dengan kasih sayang-Mu,
Mudahkanlah segala urusannya,
Bukakanlah pintu-pintu rezeki bagi kami,
Hapuskanlah segala kesedihan di hati kami,
Permudahkanlah kami untuk berkumpul bersama.