Selasa, Juni 16, 2015

Cinta dalam Skutel Makaroni

Sinar surya hampir sirna. Hembusan angin dingin, menyejukkan kota pahlawan senja itu. Beberapa saat menjelang bedug magrib, aku tertegun menatap meja makan. Ada beberapa gelas es campur, sepiring kurma dan seloyang skutel makaroni. Sejenak, aku menghela napas. Bukan karena makanan yang tersaji tidak menarik seleraku. Tapi, karena ada satu makanan yang mengingatkanku pada belahan jiwaku. Skutel makaroni, nama makanan itu.
Siapa pun pasti tahu, skutel makaroni adalah makanan yang enak dan super lezat. Apalagi dengan taburan keju yang banyak, tambah mantap rasanya. Tapi kali ini, entah mengapa, memandangnya membuatku menjadi sedih.  Iya, skutel makaroni adalah makanan kesukaan suamiku. Skutel makaroni mengingatkan aku padanya. Suamiku yang sedang jauh di negeri Belanda, telah berkali-kali kami tidak melaksanakan Ramadhan bersama.
Allahu Akbar…Allahu Akbar” suara azan terdengar dari mushalla dekat rumahku. Aku, putriku dan kedua mertuaku, duduk mengintari meja makan. Aku membaca doa berbuka. Segera kubatalkan puasa dengan secangkir air putih dan dua biji kurma. Kulihat, putriku dengan lahapnya menghabiskan potongan skutel makaroni di piringnya. Aku hendak beranjak meninggalkan meja makan. Tapi, pertanyaan dari Ibu mertuaku, menghentikan langkahku. “Skutel makaroninya kok nggak dimakan?” tanya Ibu mertuaku. Aku hanya tersenyum. Aku tak ingin mengecewakan Ibu mertuaku. Aku tahu, beliau pasti akan kecewa jika aku tidak memakan skutel makaroni buatannya. Sebelum meninggalkan meja makan, tangan kananku meraih piring jatah skutel untukku. “Aku bawa ke kamar atas ya Mom,“ kataku meminta persetujuan beliau. Beliau mengangguk tanda setuju. Aku berjalan menjauhi meja makan. Kakiku menaiki tangga, menuju kamarku di lantai atas.
Skutel makaroni kuletakkan di atas meja. Selesai berwudhu, aku menenggelamkan diri di sajadah lembutku. Ketika selesai salam dan berdoa, mataku kembali menatap sepiring skutel makaroni di atas meja kecil di dekatku. Aku tertegun sesaat, pikiranku terkenang beberapa tahun yang lalu.

Musim semi bertabur bunga sakura, tahun 2002 , aku membuat skutel makaroni untuk pertama kalinya. Kala itu, aku baru saja menikah. Aku sedang mengikuti suamiku yang menjalani studi master di negeri matahari terbit.  Jujur, semasa gadis, aku belum pernah membuat skutel makaroni. Memakannya mungkin pernah, tapi membuatnya? Belum pernah sama sekali. Setelah menikah, aku baru tahu, ternyata suamiku paling suka makan skutel makaroni. Awalnya, tentu saja aku bingung. Tapi, untunglah sebelum berangkat ke Jepang, Ibu mertuaku telah membekaliku dengan catatan resep skutel makaroni.  Dan aku pun memberanikan diri untuk membuat skutel makaroni dengan bermodal petunjuk dari resep itu.
Skutel makaroni perdanaku, aku buat dengan bahan seadanya. Letak apartemen kami yang jauh dari toko daging halal, membuatku terbiasa masak tanpa daging sapi atau daging ayam. Aku lebih sering membeli seafood. Begitupun, dengan skutel makaroni buatan pertamaku. Aku gunakan udang dan tuna untuk campuran skutel makaroni itu. 
Masih kuingat, betapa skutel makaroni buatanku itu, sangat asin, keras dan hampir gosong. Tapi, hatiku menjadi berbunga-bunga karena suamiku memuji skutel buatanku itu. “ Enak…enaaak” katanya berulang-ulang. Potong, demi potong, skutel makaroni itu habis dilahapnya. Bahkan, tak secuil pun tersisa di loyang. Saat itu, aku bahagia sekali. Walaupun, aku tahu skutel makaroni buatanku tidaklah sempurna. Tapi, aku bahagia karena suamiku sangat menghargai hasil masakanku itu.
Tok…tok…tok “ suara pintu kamarku diketuk. “Ma…Mama” terdengar suara putriku memanggilku. Aku tersadar dari lamunanku. Segera aku buka pintu kamar dan menghampiri putriku. “Ada apa Sayang? tanyaku. “Ada telepon dari Papa,” katanya sambil menarik tanganku untuk mengikutinya. Dengan mukena lengkap, bergegas aku ke lantai bawah. Aku raih gagang telepon yang terletak di atas meja.
Assalamu’alaykum”kataku.
Wa’alaykumsalam warahmatullah wabarakatuh” jawab suara di sana.
Aku terdiam. Suara itu begitu aku rindukan. Suara belahan jiwaku, yang sedang berada di negeri kincir angin. Telah sekian Ramadhan tidak kami lalui bersama. Ini adalah Ramadhan ke tujuh, aku tidak bersamanya.
Lho kok diam? Sakit Ma?“ tanya suamiku di ujung sana.
Alhamdulillah sehat…Papa gimana? Sehat?“ tanyaku.
Alhamdulillah sehat. Sudah buka puasa ya di Indonesia? Selamat buka puasa ya…Buka pake menu apa tadi? “kembali suamiku melontarkan pertanyaan.
Skutel makaroni” jawabku singkat.
Skutel makaroni? Wah enak donk…kirim ke sini donk, Ma!“ kata suamiku sambil bercanda.
Nggak bisa ngirimnyajauuuh! Beli saja di sana“ jawabku serius.
Beli? Bisa saja sih…tapi kan nggak bakalan sama dengan buatan mama” jawab suamiku.
Lagian di belanda, kejunya lebih bervariasi dan lebih enak” kataku meyakinkannya.
Biarpun, kejunya enak, tapi skutel makaroninya tidak bisa menyaingi buatan mama yang super uenak. Pokoknya skutel makaroni buatan mama lebih enak.” tegas suamiku.
Papa ada-ada saja…buatan mama biasa saja” ujarku agak minder.
Benar Ma, buatan mama yang paling papa suka. Karena mama membuatnya dengan penuh cinta. Makanya skutel buatan mama paling enak di lidah papa” jawab suamiku meyakinkanku.
Aku terdiam, tanpa bisa berbicara. Aku menahan rontoknya butiran-butiran bening di ujung mataku. Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi dengan percakapan di telepon. Syukurlah, tak lama kemudian, suamiku mengakhiri teleponnya. Dengan tangan gemetar, aku kembalikan gagang telepon ke tempatnya.
Langkahku berat menaiki anak-anak tangga. Aku mengunci diri dalam kamarku. Sekilas mataku menatap sehelai baju kaos batik dan sehelai sarung berwarna coklat, yang tergantung di belakang pintu kamarku. Itu adalah pakaian terakhir yang dipakai suamiku, saat mengunjungiku di liburan musim panas lalu. Aku raih baju dan sarung itu. Masih tercium, aroma badan pemiliknya. Memang, sudah berbulan-bulan baju dan sarung itu tidak aku cuci. Seperti biasa, akan selalu aku dekap, jika merindukan belahan jiwaku itu. Sama seperti perasaanku saat ini,  kupeluk dengan segenap rinduku.  Air mataku mulai rontok satu persatu L.
Pikiranku melayang ke negeri keju. Aku menangkap sesosok tubuh berbadan tegap. Dia duduk tekun, sambil menahan kantuk di antara tumpukan buku-buku tebal dan paper-paper  yang berserakan. Dia bergegas ke dapurnya yang mungil, tempatnya memasak makanan untuk sahur dan berbuka. Aku seharusnya di sana. Aku seharusnya yang menata mejanya agar tetap rapi dan nyaman di pandang mata. Aku yang seharusnya di dapur itu, yang memasakkan skutel makaroni kesukaannya.
Tapi, apalah dayaku ini. Kini aku berada beribu-ribu kilometer jauh darinya. Aku yang berada di belahan bumi yang berbeda darinya. Aku yang tak bisa menjalankan ibadah Ramadhan bersamanya. Aku yang tak bisa menemani hari-harinya. Maafkan aku, suamiku.
Allahu Akbar…Allahu Akbar” kembali suara azan berkumandang dari mushalla dekat rumahku. Tanda waktu Isya telah tiba. Segeraku berwudhu kembali, bersiap menghadap Illahi.
Setelah selesai sholat, dalam dzikir panjangku, aku memohon doa tulus pada-Nya :

” Rabbi, Engkau Yang Maha Pengasih,
Kasihanilah hambamu yang lemah ini,
Hapuskanlah duka hatiku,
Gantilah air mata ini dengan kebahagiaan abadi-Mu.

Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa,
Lindungilah suamiku di sana,
Sayangilah dia dengan kasih sayang-Mu,
Mudahkanlah segala urusannya,
Bukakanlah pintu-pintu rezeki bagi kami,
Hapuskanlah segala kesedihan di hati kami,
Permudahkanlah kami untuk berkumpul bersama.  


Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.”


* Kisah ini telah dimuat dalam buku "STORYCAKE FOR RAMADHAN" terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU, 2011).




1 komentar:

Suci Shofia mengatakan...

Sedih ya? jadi ikut hanyut dalam kesedihan deh ...