Senin, Januari 26, 2015

Mendadak Jadi Artis

Senja itu, awal Januari tahun 2002, puncak musim dingin di negeri Matahari Terbit. Dengan balutan jaket coklat yang super tebal, aku berjalan setengah berlari kecil. Hembusan angin yang sangat dingin menerpa wajahku. Aku sedang berjuang menyusuri jalan menuju stasiun kereta api Suzukakedai. Pohon-pohon yang gundul tanpa daun, seakan menertawakan diriku yang berjalan megal-megol. Aku melirik arloji di tangan kiri. Aku semakin mempercepat gerak langkahku.
Tepat lima menit sebelum waktu yang dijanjikan, aku mendarat dengan selamat di kursi besi depan stasiun. Aku mengatur napasku yang masih ngos-ngosan. Lalu-lalang orang bermata sipit begitu banyak. Mataku mencari sosok lelaki berbadan tegap, berkulit sawo matang dan memiliki bola mata yang besar. Aha…itu dia. Syukurlah, aku tidak begitu sulit untuk menemukannya. Dia adalah suamiku, kami berjanji untuk bertemu di stasiun ini. Dia baru pulang dari kampus.  Hari ini, aku menemani dirinya menghadiri undangan pesta dari sensei ( guru ) yang menjadi sponsor studinya.
Setelah menaiki kereta api, kami melanjutkan perjalanan dengan bus. Tiba di lokasi sepuluh menit sebelum waktu yang tertera di undangan. Alhamdulillah, kami bernapas lega. Lokasi pesta merupakan restoran elite di kota itu.
Saat memasuki gedung acara, kami disambut sangat ramah oleh pemilik restoran. Kami menggantung jaket di tempatnya, kemudian mendatangi meja registrasi. Kami diberi name tag, tertulis nama kami masing-masing dalam kanji Jepang. Selanjutnya, kami dipersilakan duduk di meja yang telah dipersiapkan. Terlihat meja-meja lain masih banyak yang kosong.
Tidak sampai lima menit berlalu, ruangan itu telah dipenuhi oleh para undangan. Hampir semua meja telah terisi. Mereka datang berpasangan, suami dan istri. Dari pakaian yang mereka gunakan, aku tahu mereka dari kalangan orang berkelas. Menurut suamiku, mereka adalah pemilik perusahaan atau seorang ‘BOS’. Ini adalah pesta para pengusaha yang tergabung dalam ikatan pengusaha di kota itu.
           Sesuai waktu tertera di undangan, tepat pukul tujuh malam waktu Jepang, pesta dimulai. Acara pertama, para hadirin dipersilakan berdiri membentuk lingkaran, sambil bergandengan tangan. Tangan kananku dipegang erat oleh suamiku. Tangan kiriku, digandeng oleh istri seorang pengusaha yang belum kukenal. Aku hanya tersenyum manis dan mengangguk pelan ketika dia mengulurkan tangan untuk bergandengan denganku.
         Acara pembukaan merupakan nyanyian atau mars dari organisasi mereka. Selanjutnya, para tamu kembali duduk. Sebelum menuju kursi dudukku, aku memperkenalkan diri ke wanita ramah yang tadi menggandeng tangan kiriku. Dengan berbekal sedikit bahasa Jepang yang kumiliki, aku berbicara dengannya.
Hajimemasithe, watashi wa Ida tomo shimasu. Dedy san no okusan desu. Yoroshiku onegai shimasu”         ( perkenalkan, nama saya Ida, istri Dedy ), kataku sambil membungkuk, meniru gaya orang Jepang jika memperkenalkan diri. Dia sangat senang melihat sikapku.
Sambil membungkuk juga, berkali-kali dia mengatakan,
Hai…hai…irashaimase Ida san”  ( selamat datang Ida ).
Dengan wajah berseri, kami saling melambaikan tangan, tanda berpisah sementara karena ternyata kursi duduk kami agak berjauhan. Acara selanjutnya, pidato dari ketua organisasi. Aku melihat seorang lelaki memakai stelan jas rapi naik ke panggung, berbicara dengan penuh semangat. Aku tidak terlalu paham dengan semua yang diucapkannya. Maklumlah, belum satu bulan aku di sini. Bahasa Jepang yang aku kuasai sangat minim, terbatas hanya untuk percakapan singkat dan sekedar kosa-kata yang mudah diingat untuk bekal belanja di supermarket saja J.
Berbeda dengan suamiku, beliau terlihat sangat antusias mendengar kata sambutan itu. Sepertinya dia sangat tertarik dengan hal yang disampaikan oleh pembicara. Suamiku memang sangat mahir berbahasa Jepang, karena sudah hampir 4 tahun dia studi di negeri sakura ini.
      Dari atas panggung, ketua organisasi menutup pembicaraannya dengan berkali-kali mengucapkan kata “ Arigatou gozaimasu”. Kalo kata itu sih aku sudah hapal luar kepala…kan artinya “terima kasih” hehehe, berarti pidatonya berakhir J.
Tapi pembicara tidak langsung turun panggung. Ada seorang pelayan restoran yang menghampirinya, dan memberikan segelas minuman baginya. Warna minuman itu kuning, tampak jelas ada buih-buih dari gelas bening yang digunakan. Kata suamiku, itu minuman bir. Oh my God! Aku muslim, nggak boleh minum bir yang diharamkan oleh agamaku. Aku melihat setiap tamu juga dibagikan gelas berisi minuman serupa.
Tetapi, ternyata kecemasanku terjawabkan. Pemilik restoran yang tadi menyambut kedatangan kami, menghampiri meja kami dan berbicara kepada suamiku. Aku tidak terlalu paham isi semua pembicaraan. Tak lama kemudian pemilik restoran itu datang kembali dengan membawa dua gelas ringo jus ( jus apel ). Alhamdulillah, ternyata pemilik restoran tahu kami muslim karena melihat aku yang berjilbab dan mempersilakan kami untuk memilih minuman yang kami inginkan.  
Acara selanjutnya, semua tamu dipersilahkan menyantap makanan yang disediakan.
Sebelum menuju ke meja hidangan yang berada di pojok ruangan, aku dihampiri oleh istri-istri pengusaha yang duduk di dekatku. Ada sekitar tujuh orang yang menghampiriku. Mereka mengenalkan diri masing-masing. Aku pun ikut membungkuk mengenalkan diriku. Mereka menanyakan kota asalku di Indonesia. Rupanya mereka sudah pernah ke Jakarta, Bali, Yogyakarta, dan ada juga yang pernah ke Medan.
Aku mengatakan Surabaya sebagai tempat tinggalku. Mereka sangat antusias menceritakan pengalaman berkesan selama mengunjungi Indonesia. Ada yang menceritakan naik becak motor di Medan. Ada yang mengatakan takjub dengan Candi Borobudur dan ada juga yang bilang “Bali is the best”.              Aku tersenyum bahagia mendengar cerita positif dari mereka tentang tanah airku tercinta.
Salah seorang dari mereka bertanya kepadaku “ Indonesia no kimono desuka?” katanya sambil memegang baju biru yang kupakai.
Aku tersenyum dan menjawab,“Hai.” Sambil membungkuk ke arah mereka. Jawabanku membuat mereka senang.
Ada dari mereka yang berkata. “ Kirei ne.” ( bagus ya ).
Aku hanya tersenyum. Salah seorang dari mereka menyingkap sedikit jilbab biruku, dan mengamati bordir bunga-bunga berwarna kalem di jubah biru yang membungkus tubuhku. Mereka berdecak kagum melihat bordir itu. Sambil berkali-kali keluar pujian dari mulut mereka. Aku tersipu malu. Mereka mengagumi bordir khas Indonesia yang menghiasi pakaianku.
Aku bahagia mereka menyenangi hasil karya bangsaku, tapi aku malu dikerubungi bagai artis seperti itu. Syukurlah tak lama kemudian, mereka mengajakku menuju meja hidangan, mengambil makanan untuk disantap.
Sajian makanan yang tersedia, terpisah dibagi tiga kategori. Pertama kategori daging, ada ayam dan daging sapi. Kategori kedua, seafood, ada ikan salmon, tuna, telur ikan, udang, kerang, cumi, dan kepiting. Kategori ketiga, vegetarian, ada segala macam buah dan sayur-sayuran. Aku mengambil makanan yang termasuk kategori seafood dan vegetarian.
Aku merasa ada yang memperhatikan diriku, istri pemilik restoran mengamati cara aku memilih makanan. Alhamdulillah, setelah makan malam selesai, aku diajak berfoto-foto oleh mereka. Aku selalu ditempatkan di tengah, saat berpose foto tersebut. Mereka mendampingi aku, kiri dan kanan. Waaaa …serasa jadi artis diriku J. Selesai berfoto, kami saling mengucap salam perpisahan, karena memang acara sudah berakhir dan para tamu dipersilakan untuk meninggalkan tempat acara.
Aku dan suamiku berpamitan untuk pulang kepada beberapa tamu dan pemilik restoran. Istri pemilik restoran meminta kami untuk menunggu sebentar, “ cotto matte kudasai ne,” katanya.
Aku dan suamiku menunggu sambil memakai jaket kami kembali. Tak lama kemudian, istri pemilik restoran datang menghampiri dengan membawa dua bungkusan di tangannya. Dia menyerahkan kepadaku dan berbicara dengan sangat banyak dalam bahasa Jepang kepada suamiku. Suamiku mengucapkan terima kasih dan aku juga ikut membungkuk mengucapkan terima kasih kepadanya.
Setelah sampai di rumah, kami buka bungkusan tersebut. Subhanallah, alhamdulillah, ternyata satu bungkusan berisi penuh dengan makanan seafood. Ada ikan, udang, kerang, cumi dan kepiting. Sedangkan satu bungkusan lagi berisi bermacam-macam buah, ada jeruk, apel, anggur, kiwi, dan stawberi. Mataku berkaca-kaca, sebagai pengantin baru berstatus mahasiswa yang hidup di perantauan, pemberian tersebut sangat berharga bagi kami.



*Salah satu episode hidup kami selama tinggal di Jepang. Kisah nyata ini dimuat dalam buku PUZZLE CINTA, Ketika Jodoh Menghampiri.




Tidak ada komentar: