Senja
itu, awal Januari tahun 2002, puncak musim dingin di negeri Matahari Terbit.
Dengan balutan jaket coklat yang super tebal, aku berjalan setengah berlari
kecil. Hembusan angin yang sangat dingin menerpa wajahku. Aku sedang berjuang
menyusuri jalan menuju stasiun kereta api Suzukakedai.
Pohon-pohon yang gundul tanpa daun, seakan menertawakan diriku yang berjalan megal-megol. Aku melirik arloji di tangan kiri. Aku semakin mempercepat
gerak langkahku.
Tepat
lima menit sebelum waktu yang dijanjikan, aku mendarat dengan selamat di kursi
besi depan stasiun. Aku mengatur napasku yang masih ngos-ngosan. Lalu-lalang
orang bermata sipit begitu banyak. Mataku mencari sosok lelaki berbadan tegap,
berkulit sawo matang dan memiliki bola mata yang besar. Aha…itu dia. Syukurlah, aku tidak begitu sulit untuk menemukannya.
Dia adalah suamiku, kami berjanji untuk bertemu di stasiun ini. Dia baru pulang
dari kampus. Hari ini, aku menemani
dirinya menghadiri undangan pesta dari sensei
( guru ) yang menjadi sponsor studinya.
Setelah
menaiki kereta api, kami melanjutkan perjalanan dengan bus. Tiba di lokasi sepuluh
menit sebelum waktu yang tertera di undangan. Alhamdulillah, kami bernapas
lega. Lokasi pesta merupakan restoran elite di kota itu.
Saat
memasuki gedung acara, kami disambut sangat ramah oleh pemilik restoran. Kami
menggantung jaket di tempatnya, kemudian mendatangi meja registrasi. Kami
diberi name tag, tertulis nama kami
masing-masing dalam kanji Jepang. Selanjutnya, kami dipersilakan duduk di meja
yang telah dipersiapkan. Terlihat meja-meja lain masih banyak yang kosong.
Tidak
sampai lima menit berlalu, ruangan itu telah dipenuhi oleh para undangan.
Hampir semua meja telah terisi. Mereka datang berpasangan, suami dan istri. Dari
pakaian yang mereka gunakan, aku tahu mereka dari kalangan orang berkelas.
Menurut suamiku, mereka adalah pemilik perusahaan atau seorang ‘BOS’. Ini
adalah pesta para pengusaha yang tergabung dalam ikatan pengusaha di kota itu.
Sesuai waktu tertera di undangan, tepat
pukul tujuh malam waktu Jepang, pesta dimulai. Acara pertama, para hadirin
dipersilakan berdiri membentuk lingkaran, sambil bergandengan tangan. Tangan kananku
dipegang erat oleh suamiku. Tangan kiriku, digandeng oleh istri seorang
pengusaha yang belum kukenal. Aku hanya tersenyum manis dan mengangguk pelan
ketika dia mengulurkan tangan untuk bergandengan denganku.
Acara
pembukaan merupakan nyanyian atau mars dari organisasi mereka. Selanjutnya,
para tamu kembali duduk. Sebelum menuju kursi dudukku, aku memperkenalkan diri
ke wanita ramah yang tadi menggandeng tangan kiriku. Dengan berbekal sedikit
bahasa Jepang yang kumiliki, aku berbicara dengannya.
“
Hajimemasithe, watashi wa Ida tomo
shimasu. Dedy san no okusan desu. Yoroshiku onegai shimasu” ( perkenalkan, nama saya Ida, istri Dedy ), kataku
sambil membungkuk, meniru gaya orang Jepang jika memperkenalkan diri. Dia
sangat senang melihat sikapku.
Sambil
membungkuk juga, berkali-kali dia mengatakan,
“Hai…hai…irashaimase Ida san” ( selamat datang Ida ).
Dengan
wajah berseri, kami saling melambaikan tangan, tanda berpisah sementara karena
ternyata kursi duduk kami agak berjauhan. Acara selanjutnya, pidato dari ketua
organisasi. Aku melihat seorang lelaki memakai stelan jas rapi naik ke
panggung, berbicara dengan penuh semangat. Aku tidak terlalu paham dengan semua
yang diucapkannya. Maklumlah, belum satu bulan aku di sini. Bahasa Jepang yang
aku kuasai sangat minim, terbatas hanya untuk percakapan singkat dan sekedar
kosa-kata yang mudah diingat untuk bekal belanja di supermarket saja J.
Berbeda
dengan suamiku, beliau terlihat sangat antusias mendengar kata sambutan itu. Sepertinya
dia sangat tertarik dengan hal yang disampaikan oleh pembicara. Suamiku memang
sangat mahir berbahasa Jepang, karena sudah hampir 4 tahun dia studi di negeri
sakura ini.
Dari atas panggung, ketua organisasi
menutup pembicaraannya dengan berkali-kali mengucapkan kata “ Arigatou gozaimasu”. Kalo kata itu
sih aku sudah hapal luar kepala…kan artinya “terima kasih” hehehe, berarti pidatonya berakhir J.
Tapi
pembicara tidak langsung turun panggung. Ada seorang pelayan restoran yang
menghampirinya, dan memberikan segelas minuman baginya. Warna minuman itu
kuning, tampak jelas ada buih-buih dari gelas bening yang digunakan. Kata
suamiku, itu minuman bir. Oh my God! Aku
muslim, nggak boleh minum bir yang
diharamkan oleh agamaku. Aku melihat setiap tamu juga dibagikan gelas berisi
minuman serupa.
Tetapi,
ternyata kecemasanku terjawabkan. Pemilik restoran yang tadi menyambut
kedatangan kami, menghampiri meja kami dan berbicara kepada suamiku. Aku tidak
terlalu paham isi semua pembicaraan. Tak lama kemudian pemilik restoran itu
datang kembali dengan membawa dua gelas ringo
jus ( jus apel ). Alhamdulillah, ternyata pemilik restoran tahu kami muslim
karena melihat aku yang berjilbab dan mempersilakan kami untuk memilih minuman
yang kami inginkan.
Acara
selanjutnya, semua tamu dipersilahkan menyantap makanan yang disediakan.
Sebelum menuju
ke meja hidangan yang berada di pojok ruangan, aku dihampiri oleh istri-istri
pengusaha yang duduk di dekatku. Ada sekitar tujuh orang yang menghampiriku.
Mereka mengenalkan diri masing-masing. Aku pun ikut membungkuk mengenalkan
diriku. Mereka menanyakan kota asalku di Indonesia. Rupanya mereka sudah pernah
ke Jakarta, Bali, Yogyakarta, dan ada juga yang pernah ke Medan.
Aku
mengatakan Surabaya sebagai tempat tinggalku. Mereka sangat antusias
menceritakan pengalaman berkesan selama mengunjungi Indonesia. Ada yang
menceritakan naik becak motor di Medan. Ada yang mengatakan takjub dengan Candi
Borobudur dan ada juga yang bilang “Bali
is the best”. Aku
tersenyum bahagia mendengar cerita positif dari mereka tentang tanah airku
tercinta.
Salah
seorang dari mereka bertanya kepadaku “ Indonesia
no kimono desuka?” katanya sambil memegang baju biru yang kupakai.
Aku
tersenyum dan menjawab,“Hai.” Sambil
membungkuk ke arah mereka. Jawabanku membuat mereka senang.
Ada
dari mereka yang berkata. “ Kirei ne.” ( bagus ya ).
Aku
hanya tersenyum. Salah seorang dari mereka menyingkap sedikit jilbab biruku,
dan mengamati bordir bunga-bunga berwarna kalem di jubah biru yang membungkus
tubuhku. Mereka berdecak kagum melihat bordir itu. Sambil berkali-kali keluar
pujian dari mulut mereka. Aku tersipu malu. Mereka mengagumi bordir khas
Indonesia yang menghiasi pakaianku.
Aku
bahagia mereka menyenangi hasil karya bangsaku, tapi aku malu dikerubungi bagai
artis seperti itu. Syukurlah tak lama kemudian, mereka mengajakku menuju meja
hidangan, mengambil makanan untuk disantap.
Sajian
makanan yang tersedia, terpisah dibagi tiga kategori. Pertama kategori daging,
ada ayam dan daging sapi. Kategori kedua, seafood,
ada ikan salmon, tuna, telur ikan, udang, kerang, cumi, dan kepiting. Kategori
ketiga, vegetarian, ada segala macam buah dan sayur-sayuran. Aku mengambil
makanan yang termasuk kategori seafood
dan vegetarian.
Aku
merasa ada yang memperhatikan diriku, istri pemilik restoran mengamati cara aku
memilih makanan. Alhamdulillah, setelah makan malam selesai, aku diajak
berfoto-foto oleh mereka. Aku selalu ditempatkan di tengah, saat berpose foto
tersebut. Mereka mendampingi aku, kiri dan kanan. Waaaa …serasa jadi artis diriku J. Selesai berfoto, kami
saling mengucap salam perpisahan, karena memang acara sudah berakhir dan para
tamu dipersilakan untuk meninggalkan tempat acara.
Aku
dan suamiku berpamitan untuk pulang kepada beberapa tamu dan pemilik restoran.
Istri pemilik restoran meminta kami untuk menunggu sebentar, “ cotto matte kudasai ne,” katanya.
Aku
dan suamiku menunggu sambil memakai jaket kami kembali. Tak lama kemudian,
istri pemilik restoran datang menghampiri dengan membawa dua bungkusan di
tangannya. Dia menyerahkan kepadaku dan berbicara dengan sangat banyak dalam
bahasa Jepang kepada suamiku. Suamiku mengucapkan terima kasih dan aku juga
ikut membungkuk mengucapkan terima kasih kepadanya.
Setelah
sampai di rumah, kami buka bungkusan tersebut. Subhanallah, alhamdulillah,
ternyata satu bungkusan berisi penuh dengan makanan seafood. Ada ikan, udang, kerang, cumi dan kepiting. Sedangkan satu
bungkusan lagi berisi bermacam-macam buah, ada jeruk, apel, anggur, kiwi, dan
stawberi. Mataku berkaca-kaca, sebagai pengantin
baru berstatus mahasiswa yang hidup di perantauan, pemberian tersebut sangat
berharga bagi kami.
*Salah satu episode hidup kami selama tinggal di Jepang. Kisah nyata ini dimuat dalam buku PUZZLE CINTA, Ketika Jodoh Menghampiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar